Bambang Wisanggeni adalah nama seorang tokoh pewayangan ciptaan pujangga Jawa karena tidak terdapat dalam wiracarita Mahabharata. Ia dikenal sebagai putra Arjuna yang lahir dari seorang bidadari bernama Dresanala, putri Batara Brahma. Wisanggeni merupakan tokoh istimewa dalam pewayangan Jawa. Ia dikenal pemberani, tegas dalam bersikap, serta memiliki kesaktian luar biasa.
Kelahiran Wisanggeni diawali dengan kecemburuan Dewasrani, putra Batari Durga terhadap Arjuna yang telah menikahi Dresanala. Dewasrani merengek kepada ibunya supaya memisahkan perkawinan mereka. Durga pun menghadap kepada suaminya, yaitu Batara Guru, raja para dewa.
Atas desakan Durga, Batara Guru pun memerintahkan agar Batara Brahma menceraikan Arjuna dan Dresanala. Keputusan ini ditentang oleh Batara Narada selaku penasihat Batara Guru. Ia pun mengundurkan diri dan memilih membela Arjuna.
Brahma yang telah kembali ke kahyangannya segera menyuruh Arjuna pulang ke alam dunia dengan alasan Dresanala hendak Batara Guru jadikan sebagai penari di kahyangan utama. Arjuna pun menurut tanpa curiga. Setelah Arjuna pergi, Brahma pun menghajar Dresanala untuk mengeluarkan janin yang dikandungnya secara paksa.
Dresanala pun melahirkan sebelum waktunya.dan kelahiran Wisanggeni tidak dikehendaki oleh para dewa sehingga Bathara Guru memerintahkan Bathara Brahma untuk membunuh Wisanggeni dengan jalan membuang cucunya sendiri yang baru lahir itu ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa. Narada diam-diam mengawasi semua kejadian tersebut. Ia pun membantu bayi Dresanala tersebut keluar dari kawah. Secara ajaib, bayi itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Narada memberinya nama Wisanggeni, yang bermakna "racun api". Hal ini dikarenakan ia lahir akibat kemarahan Brahma, sang dewa penguasa api. selain itu, api kawah Candradimuka bukannya membunuh justru menghidupkan Wisanggeni. bahkan ia bertiwikrama menjadi api dan memporakporandakan kahayangan. Tidak ada seorang pun yang mampu menangkap dan menaklukkannya, karena ia berada dalam perlindungan Sanghyang Wenang, leluhur Batara Guru. Wisanggeni dianggap persona non grata oleh para dewa. Sungguh tidak adil tetapi Wisanggeni tidak pernah menyerah untuk melawan ketidakadilan walaupun harus berhadapan dengan kakeknya sendiri bahkan harus berhadapan dengan Sanghyang Jagad Giri Nata.
Wisanggeni kemudian datang ke Kerajaan Amarta meminta kepada Arjuna supaya diakui sebagai anak. Semula Arjuna menolak karena tidak percaya begitu saja. Terjadi perang tanding di mana Wisanggeni dapat mengalahkan Arjuna dan para Pandawa lainnya.
Secara fisik, Wisanggeni digambarkan sebagai pemuda yang terkesan angkuh. Namun hatinya baik dan suka menolong. Ia tidak tinggal di dunia bersama para Pandawa, melainkan berada di kahyangan Sanghyang Wenang, leluhur para dewa. Dalam hal berbicara, Wisanggeni tidak pernah menggunakan bahasa krama (bahasa Jawa halus) kepada siapa pun, kecuali kepada Sanghyang Wenang. Ini adalah falsafah bahwa sesungguhnya derajat manusia itu sama saja baik kaya, miskin, tua, muda, tuan dan budak. Tokoh Wisanggeni adalah suatu femomena yang ganjil dalam kebudayaan Jawa yang sangat feudal. Tak pernah mengenal rasa takut.
Wisanggeni digambarkan mempunyai kesaktian yang tiada tara melebihi putra-putra Pandawa lainnya, misalnya Antareja, Gatutkaca, ataupun Abimanyu. Sepupunya yang setara kesaktiannya hanya Antasena saja. Namun bedanya, Antasena bersifat polos dan lugu, sedangkan Wisanggeni cerdik dan penuh akal. Dia bisa merubah menjadi api yang menyala-nyala, bisa terbang seperi Gathutkaca, bisa ambles bumi seperti Antareja, dan bisa hidup di air seperti Antasena. Dia selalu dilindungi oleh Sanghyang Pada Wenang sehingga para dewa tidak ada yang mampu mengalahkannya..
Menjelang meletusnya perang Baratayuda, Wisanggeni dan Antasena naik ke Kahyangan Alang-alang Kumitir meminta restu kepada Sanghyang Wenang sebelum mereka bergabung di pihak Pandawa. Akan tetapi, Sanghyang Wenang telah meramalkan, pihak Pandawa justru akan mengalami kekalahan apabila Wisanggeni dan Antasena ikut bertempur.
Karena kesaktian inilah ia dianggap menyalahi kodrat sehingga Prabu Kresna pada saat menjelang perang baratayuda meminta Wisanggeni dan Antasena untuk mati sebagai tumbal negara. Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya Wisanggeni dan Antasena memutuskan untuk tidak kembali ke perkemahan Pandawa. Keduanya rela menjadi tumbal demi kemenangan para Pandawa. Karena jika tidak maka Kurawa akan musnah bukan oleh Pandawa tetapi oleh mereka berdua. Ini yang menyalahi kodrat. Permintaan ini dipenuhi oleh kedua satria ini dengan tulus. Dan mereka pun mengheningkan cipta. Beberapa waktu kemudian keduanya pun mencapai moksa, musnah bersama jasad mereka.