Saat sedang sangat marah, seseorang bisa mengalami pernapasan pendek yang sangat cepat atau sering diistilahkan dengan 'napas yang memburu'. Dampak langsung yang sering menyertai kondisi ini adalah sesak napas bagi yang paru-parunya tidak cukup kuat.
Kondisi yang disebut Hyperventilation Syndrome (Sindrom Hiperventilasi) ini sering dikira asma dan tak jarang dokter salah mendiagnosis. Padahal karena dipicu faktor psikologis, kondisi ini hampir tak pernah disertai kerusakan pada jaringan paru maupun sistem pernapasan.
Meski tak mengancam jiwa seperti halnya sakit paru-paru yang sesungguhnya, Hyperventilation Syndrome tetap bisa memicu gangguan bila tak diatasi. Salah satu dampak tidak langsung yang ditimbulkan adalah mati rasa dan kesemutan di beberapa bagian tubuh.
Napas pendek dan cepat yang berlangsung terus menerus menyebabkan pertukaran oksigen dengan karbondioksida terjadi sangat cepat. Sistem peredaran darah tidak mampu mengimbanginya sehingga terjadilah ketidakseimbangan komposisi biokimia dalam darah.
Kadar protein dalam darah meningkat, di satu sisi kadar kalsiumnya turun drastis. Salah satu akibat dari kekurangan kalsium dalam darah adalah kesemutan dan mati rasa, khususnya di bagian jemari kaki dan tangan serta beberapa area di sekitar mulut.
Sementara itu untuk mengatasinya, beberapa cara bisa dilakukan seperti dikutip dari Bangkokpost.
- Jangan panik, sebab pada umumnya gejala sesak napas dan kesemutan tidak membahayakan jiwa. Usahakan untuk meredam emosi dan cobalah untuk bernapas perlahan dengan lebih rileks.
- Jika sulit mengatur napas, ambil kantong kertas lalu bernapaslah di dalamnya untuk beberapa saat. Pastikan mulut dan hidung tertutup untuk membatasi terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida.
- Ada baiknya memberitahu orang lain, bahwa gangguan ini bukan asma dan hanya muncul saat tidak mampu mengontrol emosi. Langkah ini berguna untuk menghindari kepanikan pada orang-orang di lingkungan sekitar.
- Belajarlah mengontrol emosi dan mengelola stres, cobalah untuk selalu menghadapi masalah dengan lebih rileks.
- Olahraga secara teratur bisa mengurangi risiko Hyperventilation Syndrome, sebab paru-paru yang terlatih akan lebih mampu mentoleransi berbagai perubahan kondisi pada sistem pernapasan.
- Bila semua cara di atas tidak berhasil, hubungi psikolog untuk berkonsultasi atau datangi psikiater untuk mendapatkan obat-obatan pereda stres.