Cabai rawit (Capsicum frutescen) ditemukan oleh suku Indian, Amerika Selatan, sebelum abad ke-16. Setelah itu bangsa Portugis dan Spanyol gencar memperdagangkan komoditi ini ke seantero dunia.
Perkembangan pengobatan dengan menggunakan cabai berukuran kecil ini sebenarnya sudah lama terjadi. Penelitian modern tentang penggunaan cabai rawit sebagai obat dilakukan pertama kali oleh seorang ahli botani bernama John Gerard, penulis buku History of Herbal, pada tahun 1597.
Lalu, pada tahun 1652, Dr. Nicholas Culpeper, alumnus Cambridge University, Inggris, melakukan penelitian yang sama. Ia menyebutkan bahwa cabai rawit dapat digunakan untuk mengobati sakit gigi, melancarkan pencernaan dan urin, serta mengeluarkan batu ginjal.
Kandungan cabai rawit yang kerap digunakan sebagai obat adalah capsaicin. Sifat dari zat yang tidak larut dalam air ini memberikan rasa pedas dan panas yang tak hanya dapat dirasakan tubuh, tapi juga kulit.
Zat tersebut memiliki kekuatan untuk mengontrol rasa sakit. Rasa panas ini, dalam beberapa literatur disebutkan akan memberikan efek pada jaringan yang berhubungan langsung dengan zat P dan mencegah akumulasi dari zat tersebut.
Zat P ini berfungsi sebagai pemberi pesan rasa sakit dalam tubuh kepada saraf penerima yang kemudian disampaikan kepada otak. Makanya, aktivitas capsaicin dalam mengobati rasa sakit cukup baik. Sebab, zat ini hanya berpengaruh pada satu jenis saraf penerima rasa sakit saja.
Memicu Endorphin
Di sisi lain, capsaicin juga bisa memicu pembentukan hormon endorphin yang diproduksi oleh otak. Hormon endorphin akan terbentuk bila tubuh berada dalam kondisi bahagia atau senang.
Keluarnya hormon tersebut akibat suatu rangsangan secara tidak langsung dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Pada saat inilah reseptor pada saraf dapat memberikan rasa nyaman pada bagian tubuh yang sakit.
Itu sebabnya, dalam buku panduan tentang tanaman obat karangan James A. Duke, Ph.D., disebutkan bahwa capsaicin telah terbukti efektif dalam menghilangkan rasa sakit. Pada penelitian lain disebutkan, selain baik untuk menghilangkan rasa nyeri akibat sakit kepala, capsaicin juga berguna untuk mengatasi arthritis atau radang sendi.
Penggunaan cabai rawit sebagai pengobatan tradisional telah dikenal di Cina, India, Jepang, dan Korea. Di Cina dan Jepang, ramuan cabai rawit digunakan sebagai stimulan bagi orang yang mengalami gangguan pencernaan.
Pada orang dengan gangguan pencernaan, cabai rawit akan meringankan keluhan tersebut dengan merangsang jalan kelenjar saliva (air liur) dan sekresi pada perut.
Capsaicin dipercaya membentuk kembali jaringan pada perut dan membantu gerakan peristaltik pada usus besar dengan menstimulasi sekresi lambung. Dengan begitu, tubuh dapat membuang sisa makanan hasil pencernaan dengan lancar dan membentuk asam hidroklorit guna mencerna sarinya.
Melancarkan Darah
Yang tidak kalah penting, cabai rawit juga dapat melancarkan sirkulasi darah dan meredakan pembengkakan yang terjadi pada pembuluh darah vena. Pembuluh darah vena berbeda dengan arteri yang memiliki diameter yang lebih sempit, sehingga lebih mudah menjadi bengkak.
Cabai rawit membantu sirkulasi darah melalui pembuluh vena dengan mudah. Tanaman ini dapat pula mencegah pembekuan darah karena bersifat antikoagulan.
Karena mengandung vitamin C serta bioflavonoid, seperti yang dikatakan Dr. Richard Schzul, pengajar pada School of Natural Healing di Springville, Amerika Serikat, cabai rawit dapat mencegah serangan jantung. Dua kandungan tersebut mampu memperkuat dinding pembuluh darah vena serta dapat mengembalikan elastisitas pembuluh darah.
Menurut beberapa penelitian, pencegahan terhadap serangan jantung lewat cabai rawit ini sama baiknya dengan pengobatan modern. Dengan cabai rawit, rasa sakit pada angina pectoris saat otot jantung kekurangan darah, dapat hilang. Capsaicin dapat dengan mudah masuk ke meridian jantung, lalu memompa darah dan nutrisi ke otot jantung. Itu berarti cabai rawit memiliki kandungan nutrisi yang baik untuk kesehatan jantung.
Sebuah penelitian yang diterbitkan pada Journal of Idaho Observer pada bulan Mei 2003 oleh para dokter di Pantai Barat Amerika membuktikan bahwa sebuah jaringan di jantung dapat hidup dan terus berkembang hanya dengan pemberian ekstrak cabai rawit. Menurut Wahyu Suprapto, seorang ahli tanaman obat, ekstrak cabai rawit bisa didapat melalui proses penghalusan menggunakan blender.
Seorang ahli tanaman obat dan pengobat tradisional dari AS, Dr. John R. Christopher, menjelaskan bahwa cabai rawit memiliki banyak kegunaan yang belum diketahui oleh masyarakat. Ketidaktahuan tersebut terjadi karena persepsi masyarakat yang menganggap cabai rawit sangat pedas dan menjadi berbahaya jika digunakan sebagai obat.
Itu sebabnya, penggunaan cabai rawit lebih berkembang sebagai bumbu masakan dibandingkan dengan untuk pengobatan. Karena itu, selalu konsultasikan terlebih dahulu penggunaannya pada ahli tanaman obat atau dokter Anda.